Mahasiswa KKN : Mengabdi atau Terjangkit


Munculnya wabah virus corona yang disebut SARS-CoV-2 di Wuhan China yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, membuat masyarakat dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia merasa khawatir. Mengapa demikian, karena virus yang menyebabkan penyakit yang dinamakan Covid-19 ini mampu menyebar dengan mudah dalam sebuah sentuhan saja. Akibat yang ditimbulkan juga tak main-main yaitu kematian dalam waktu yang singkat.

Menyambung dari permasalahan global diatas, beberapa kampus di Indonesia yang merupakan institusi pendidikan masih saja sempat memberangkatkan mahasiswanya untuk melakukan tugasnya yaitu pengabdian kepada masyarakat (Kuliah Kerja Nyata) meskipun ditengah maraknya wabah virus ini. Tentu saja mahasiswa yang sadar akan kewajibannya harus patuh karena hal ini merupakan salah satu syarat untuk menggapai gelar sarjana. Dari hal inilah mahasiswa yang menjadi peserta KKN merasakan dilema yang begitu menguras pikiran.

Mahasiswa KKN mengalami masalah dilematik di dalam perjalanannya untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, antara menjalankan program-program insidental yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat sekitar atau berdiam diri sesuai surat edaran daerah yang berlaku. Dari pihak institusipun tak kunjung mengambil keputusan, hanya menghimbau agar tetap di tempat KKN dan menjalankan program yang bisa dijalankan. Hal tersebut merupakan opsi bagi mahasiswa selaku perannya sebagai Social control, seperti dengan kemunculan virus corona pastinya masyarakat memikirkan dua hal yaitu keselamatan dan pendapatan mereka. Kondisi inilah yang seharusnya menyentuh perasaan mahasiswa bagaimana agar selalu ikut ambil bagian dan bersama-sama dengan masyarakat sekitar lokasi KKN untuk mengatasi wabah penyakit ini..

Tanpa melupakan perannya tersebut, mari sama-sama mencoba menguraikan kondisi-kondisi yang terjadi baik di pedesaan maupun diperkotaan. Pertama, kondisi yang dialami oleh mahasiswa KKN didaerah terpencil atau pedesaan masih sangat membudaya dengan tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya dan lebih mengoptimalkan program bersih lingkungan sebagai pencegahan ringan, namun ada juga yang tetap di rumah saja. Sedangkan di perkotaan mengindahkan surat edaran daerah salah satunya menghentikan segala aktivitas yang menyangkut dengan perkumpulan banyak orang. Adanya gerakan #dirumahsaja bukan berarti menyerah pada kenyataan, menjalankan program belajar online salah satu dari aktivitas tak berdiam diri. Perubahan sistem pembelajaran di sekolah menjadi di rumah sangat menantang bagi elemen-elemennya, kendala-kendala yang dihadapi : tidak adanya interaksi langsung antara pelajar dan pengajar, tugas yang bertubi-tubi guna mencegah pelajar keluar rumah, dan pembelajaran yang sedikit memaksa. Namun lagi-lagi, coba kembali berpikir bagi pelajar yang tidak punya Handphone ataupun laptop,  pelajar yang tidak punya kouta, serta pelajar yang hanya memiliki seadanya saja. Kondisi ini terjadi diperkotaan dan bagaimana dengan mereka yang berada di desa?.

Setelah merenungi nasib diatas, mari kembali pada opini-opini yang mungkin belum terealisasikan, telah diketahui kondisi pedesaan yang tak bisa berdiam di rumah, mengapa tidak menutup akses keluar masuknya masyarakat atau istilah kerennya disebut lockdown. Sembari pemerintah yang harusnya memikirkan lebih keras lagi untuk mengambil langkah yang bisa diterapkan secara universal, mahasiswa sebagai pengontrol kehidupan sosial harus tetap berada di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan ide-ide kreatif dan inovatif yang menunjang dalam pencegahan virus corona ini. Bukan hanya berada di tengah-tengah masyarakat tetapi juga berperan dalam mengawal kebijakan-kebijakan yang kemudian diputusakan oleh pimpinan pemerintahan.

Jikalau bukan kita sebagai kaum muda yang berintelektual tinggi yang mengambil bagian, siapa lagi? Ayo kawan-kawan kita eratkan simpul perlawanan untuk Indonesia bebas corona. Salam akal sehat, Hidup Mahasiswa!

Dini Agustina

(Mahasiswa KKN Universitas Negeri Makassar)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer